Thursday, May 16, 2013

Multi Level Strategi Gerakan PMII

Sebagai organ pengkaderan, kita terus berupaya mencari konsep pengkaderan terbaik di PMII, baik dalam prespektif lokal (locus at campus) maupun cabang hingga nasional. Untuk itu kita butuh membaca berbagai kondisi objektif saat ini, melakukan otokritik dan adaptasi. Untuk menata ruang konsep kaderisasi tersebut, sebetulnya kita butuh dealektika panjang proses kesejarahan dan perumusan cita dan penyamaan visi. Untuk menguatkan pentingnya menata ruang konsep kaderisasi yang dapat dipahami bersama itu saya mengutip apa yang pernah disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari* :

“Siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman, serta apa saja yang terjadi pada mereka hingga pada saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kekayaan yang pernah mereka sandang dan kemuliaan yang pernah menjadi hiasan mereka, tidak lain adalah berkat apa yang secara kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seia sekata, searah setujuan, dan pikiran-pikiran mereka seiring”

Begitupun saat kita melihat historis Komisariat PMII STAIN Tulungagung. Terbayang oleh kita komisariat pernah mengalami kebesarannya, membangun rayon demi rayon hingga mencapai enam rayon (tahun 2012-2013). Bukankah ini sejarah yang butuh waktu untuk kita pahami, bagaimana para pendahulu membangunnya?

Untuk itu saya berpendapat bagaimana pentingnya menyatukan serpihan pikiran untuk menyamakan persepsi, visi dan cita PMII dalam satu rumah besar yaitu PMII itu sendiri. Ibaratkan rumah, PMII yang merupakan sebuah rumah yang begitu megah, besar, mewah, luas yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan dan kamar-kamar. Dan begitulah menjadi suatu kewajaran bila banyak model dan perbedaan tersendiri diantara kamar satu dengan kamar yang lainnya, namun kabar baiknya itu masih serumah.

Dalam buku Multi Level Strategi Gerakan PMII menyebutkan ada lima argument mengapa harus ada pengkaderan. Pertama sebagai pewarisan nilai-nilai (argumentasi idealis), kedua pemberdayaan anggota (argumentasi strategis), ketiga memperbanyak anggota (argumnetasi praktis), keempat persaingan antar kelompok (argumentasi pragmatis) dan yang kelima sebagai mandate organisasi (argumnetasi administrative)**.

Secara filosofis, pengkaderan PMII hendak mencipta manusia merdeka (independent)***. Sementara proses pengkaderan itu menuju pada satu titik, yakni mencipta manusia Ulul Albab. Pengertian sederhananya adalah manusia yang peka terhadap kenyataan, mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah, giat membaca tanda-tanda alam yang kesemuanya dilakukan dalam rangka berdzikir kepada Allah SWT, berfikir dari berbagai peristiwa alam, sejarah masyarakat, serta firman-firman-Nya. Pengertian Ulul Albab ini disarikan dalam motto dizkir, fikr, amal sholeh****.

Sejak PMII didirikan pada tahun 1960, proses kaderisasi selalu sejalan dengan dinamika kemahasiswaan yang telah mengalami banyak perubahan. Era pra-1998 (baca: pra reformasi) misalnya mensyaratkan gerakan dalam strategi gerakan eksparlementer. Setelah itu, muncul banyak gagasan, pro dan kontra, masihkah kita tetap menggunakan strategi pada gerakan jalanan, atau kembali ke kampus.Strategi praksiologis pengkaderan dengan optimalisasi gerakan eksparlementer mensuguhkan progresifitas, militansi dan radikalisasi massa yang tinggi. Strategi ini melahirkan kader-kader yang tangguh dalam mental dan kemampuan melakukan mobilisasi massa, mendengungkan propaganda perlawanan dan membangkitkan semangat aksi turun jalan. Tirani kekuasaan sangat absolut, mencengkram semua sektor kehidupan. Satu-satunya jalan: turun jalan!

Sebaliknya, gerakan kembali ke kampus menyuguhkan strategi kaderisasi yang berbeda. Penguasaan materi fakultatif dengan disiplin ilmu sesuai dengan jurusannya menuntut kedisiplinan yang tidak kalah sulit. Apalagi proses sehari-hari mahasiswa akademis fakultatif rawan menyuguhkan dramatologi kontradiktif: terlalu asyik mengejar nilai akademis dan melupakan tanggungjawabnya sebagai agent of change dan agent of control. Tanpa disadari aktifitas akademis tersebut membuat kita lupa diri bahwa keilmuan kita sangat ditunggu rakyat keseluruhan dalam mewujudkan tatanan kehidupan berkeadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang merata.

Tidak mudah memang menempa diri dalam kualitas akademis dengan menjaga semangat progressifitas terhadap kehidupan organisasi. Tuntutan demikian mengacu pada dinamika kehidupan nasional kita disuguhkan pada usaha percepatan kemajuan semua sektor, bukan hanya politik (baca: demokrasi). Jika PMII hanya berkutat pada kaderisasi aktor politik, lantas dimana tanggungjawab pengembangan IPTEK, Kedokteran, Perencanaan Pembangunan dan berbagai kajian keilmuan pada proses pengabdian dan percepatan kesejahteraan sosial rakyat yang merata?

PMII mempunyai tanggungjawab yang belum terjawab terkait kaderisasi dalam ranah profesionalitas ini. Strategi kaderisasi yang masih tunggal dan general pada politik kampus menjadi oto kritik kita. PMII masih terasa sulit beraktualisasi diri dalam organ-organ profesional seperti kelompok akuntan, para tehnokrat, enterpreneur, para tenaga sosial medis, dan lain sebagainya. Karena itu semestinya memang semua aplikasi keilmuan akademis kita diarahkan pada pemenuhan tanggunjawab sosial. Kader PMII tida hanya disiapkan sebagai calon pemimpin dalam ranah politik dan kekuasaan, tetapi juga mampu mengaktualkan manfaat sebesar-besarnya atas keilmuan akademisnya pada kepentingan rakyat. Sejauh ini kajian tentang tanggungjawab mahasiswa pertanian, mahasiswa psikologi atau mahasiswa teknik dan sains (misalnya) pada proses kesejahteraan rakyat masih jarang dibahas.

Keberadaan aktor akademis fakultatif mampu menjadi daya tarik tersendiri di hadapan mahasiswa-mahasiswa lain. Gambaran ini benar adanya, dengan saya tambahkan catatan: syaratnya mereka mampu melakukan kinerja intelektual organik*****. Mereka cerdas dalam akademis fakultatif tidak semata untuk isi otaknya sendiri. Aktor ini menarik jika secara aktif pula melakukan kinerja intelektual organik akademis, membangun kelompok belajar atau diskusi, menjadi mitra dosen pada proses pembelajaran, dan tetap mempunyai kepercayaan diri dengan berani “membusungkan dada” ke-PMII-an. Tetap kritis namun juga bisa melakukan perilaku kooperatif. Istilah ini yang kemudian dikenal di PMII dengan sebutan kritis transformatif. Bukankah ini paradigma gerakan kita.

Keberadaan mahasiswa akademis fakultatif ini juga menjadi salah satu jawaban dari banyaknya penolakan umum mahasiswa yang anti terhadap gerakan aksi turun jalan. Jika gerakan ekstraparlementer ini banyak ditolak oleh mahasiswa secara konseptual, mengapa kita tidak mencari alternatif gerakan yang juga tidak kalah mulianya? Bukankah belajar dengan kesungguhan, berbagi ilmu dan membangun tradisi pengetahuan adalah sunnah rosul, dimana gusti kanjeng nabi kita juga aktif melakukan kerja-kerja penggalian khazanah keilmuan hingga melahirkan adigium zaman pendobrak jahiliah menuju tatanan yang Islami?

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa PMII selama ini tidak melakukan kegiatan transformasi ilmu dan membangun tradisi pengetahuan. Tidak dapat dipugkiri lagi bahwa PMII telah memberikan segudang transformasi knowladge yang menyadarkan kita pada eksistensi manusia di tengah kehidupan sosial dengan aneka ragam pengalaman organisatoris yang tiada tara nilainya. PMII telah mendidik kita pada pembentukan karakter kader yang militan, pantang menyerah, konsisten dan bertanggungjawab. Akan tetapi point yang ingin saya suguhkan adalah penguatan membangun tradisi pengetahuan ini dalam sebuah strategi strategi kaderisasi di PMII, khususnya PMII STAIN Tulungagung dan di Indonesia pada umumnya.


*           Dalam buku “Multi Level Strategi Gerakan PMII” halaman v, PB. PMII 2006
**         Ibid. hal. 32
***       Ibid, baca “Profil Kader PMII, Orietasi dan Filosofi”, hal. 34
****     Ibid, baca Profil Kader Ulul Albab, hal. 34
***** ISTILAH intelektual organik merupakan sebutan bagi intelektual-akademisi yang mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya gap antara teori dan praktik. Bagi mereka, tidak cukup peran intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku semata. Sebaliknya, lebih dari itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu kewajiban yang mutlak. Istilah intelektual organic ini diperkenalkan oleh Antonio Gramschi



Jika berkenan, mohon bantuannya untuk memberi vote Google + untuk halaman ini dengan cara mengklik tombol G+ di samping. Jika akun Google anda sedang login, hanya dengan sekali klik voting sudah selesai. Terima kasih atas bantuannya.
Judul: Multi Level Strategi Gerakan PMII; Ditulis oleh Unknown; Rating Blog: 5 dari 5
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment