Bangsa Indonseia sejak merdeka hingga sekarang terus mengalami model kepemimpinan, diantaranya orde lama, orde baru, era reformasi dan orde sekarang, yang banyak pemerhati menyebutnya sebagai era transisi menuju demokrasi. Tentunya sedikit banyak, setiap orde telah memberikan kontribusi dan membantu menentukan corak pendidikan saat ini. Pada dasarnya semua itu didapati beberapa factor penyebabnya, selain ada faktor internal juga ada faktor eksternal. Melihat kondisi internal pendidikan di Indonesia, di antaranya bagaimana terjadinya relaasi kekuasaan dan orientasi pendidikan, aspek kurikulum, pendekatan atau metodologi pembelajaran yang dipakai, profesionalitas SDM, biaya pendidikan serta lingkungan pendidikan. Kesemua itu diantaranya beberapa faktor internal yang mempengaruhi kondisi pendidikan di Indonesia.
Relasi kekuasaan dan orientasi pendidikan, yang mana terminology pendidikan itu tentunya memiliki wajah dan bentuk. Ada pendidikan formal, informal dan nonformal, adapula pendidikan akademis dan profesionalis, ada juga pendidikan negeri dan swasta. Ditambah lagi nama-nama pendidikan menurut nama-nama program studi yang terus berkembang secara cepat tanpa batas. Namun demikian, tujuan pendidikan pada dasarnya tetap satu, yaitu memanusiakan manusia atau mengangkat harkat dan martabat manusia, yakni mengangkat manusia menjadi pemimpin di muka bumi ini (khalifah fil ardhi) yang mengemban tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan(1). Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sungguh dan sangat ideal, bahkan lantaran terlalu idealnya, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada era sekarang ini orientasi pendidikan yang idela tersebut menjadi tidak menentu dan kabur kehilangan orientasi mengingat munculnya tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat Indonesia. Patut dikritisi bahwa globalisasi tidak semata mendatangkan efek positif, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan terjadinya disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpihak pada kebutuhan pragmatis atau kebutuhan pasar, lapangan kerja, sehingga ruh pendidikan sebagai pondasi budaya, moralitas dan sosial movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
Karena kepentingan itu, mengejar kelulusan adalah sebuah keniscayaan sehingga pelaku pendidikan pun tidak sungkan-sungkan melakukan kolusi, antara siswa dengan guru, maupun dengan oknum pendidikan lainnya. Pada akhirnya pendidikan hanya mengejar hasil (produk) dan secara instan akan muncul program-program baru akibat tuntutan pragmatis tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan semacam ini adalah semakin jelas mengesampingkan aspek proses, nilai-nilai dan aspek sosial(2).
Pada aspek politik pendidikan, pendidikan diorientasikan sebagai alat untuk kepentingan tertentu, seperti kepentinganideologi tertentu ataupun kepentingan politik dalam rangka mempertahankan status quo. Misalnya sebagaimana ketika Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan situasi politik, sosial, dan pendidikan (1959-1966) di mana bangsa Indonesia di bawah gelora manipol (manifesto politik) USDEK (UUD 1945, sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia), Manipol-USDEK ini telah menjadi “Dewa” dalam kehidupan politik di Indonesia dan juga “Dewa” dalam kehidupan lainnya seperti aspek pendidikan(3).
Contoh lagi pada masa orde baru, pendidikan dijadikan sebagai alat kekuasaan. Masyarakat luas sudah merasakan dan menyadari kondisi bangsa Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Dengan munculnya reformasi Mei 1998, kebobrokan dan kepentingan terselubung di bawah Orba mulai terungkap semua. Pendidikan Nasional pada masa Prba selama 32 tahun telah diabdikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pelanggengan kekuasaan (mempertahankan satatus quo)(4). Dengan demikian tujuan pendidikan kemudian direduksi menjadi pragmatis antara siap pakai dan tidak siap pakai, sehingga menghilangkan esensi dari pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan pun menjadi ajang untuk melakukan indoktrinasi kepada masyarakat sehingga selama Orba yang ada bukan pendidikan, melainkan setiaji, penataran atau indoktrinasi ideologi.
Sehingga sangat disayangkan, ketika pendidikan yang merupakan modal dasar kehidupan bagi umat manusia, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pendidikan semestinya ditujukan untuk kepentingan transformasi sosial dalam membentuk masyarakat yang adil dan makmur, akan tetapi malah dijadikan sebagai media untuk kepentingan politiktertentu.
Rekomendasi; orientasi pendidikan harus dikembalikan dan diarahkan kembali pada hakekat pendidikan yang sebenarnya, karena dalam konstalasi global ini, dunia pendidikan tidak dapat menutup diri dari kemungkinan terjadinya kontekstualisasi terhadap perkembangan zaman yang ada supaya pendidikan menjadi problem solver atas persoalan zaman.
Daftar rujukan:
(1) Mastuhu.2003.Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21.Yogyakarta: Safiria Insania Press & MSI UII Hlm. 151-152
(2) Lihat, “Melulu Mengejar Angka, Memerosotkan Pendidikan”, Kompas, 02/05/2002. “Sekolah Indonesia Mengejar Target Kelulusan”, Kompas, 22/04/2002
(3) Ary H, Gunawan.1986.Kebijakan-kebijakan Pendidikan di Indonesia.Jakarta: Bina Aksara Hlm. 49
(4) Darmningtyas.1999.Pendidikan Pada dan Setelah Krisis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hlm.126
(all) Rembangy, Musthofa, M.SI. 2010. Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras Hlm. 19-24