Menguatkan atau Menguburkan dalam-dalam
Pilar Kebangsaan PANCASILA
Pilar Kebangsaan PANCASILA
Setiap tanggal 1 Juni sebagian dari anak bangsa pasti memperingati hari kelahiran pancasila. Hari ini, tanggal 1 Juni 2013, 68 tahun tepatnya Ir. Soekarno berpidato di dalam rapat yang pertama pada Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dari situ dapat kita pahami bahwa mulai saat itulah Ir. Soekarno telah mengenalkan pancasila yang nantinya akan menjadi simbol memperingati lahirnya pancasila. Akan tetapi untuk kali ini mencoba untuk tidak memperdebatkan akan kebenaran 1 juni sebagai hari lahirnya pancasila atau tidak, dikarenakan ada yang lebih penting lagi dari pada itu, yakni sampai sejauh mana ideologi bangsa (pancasila) itu sudah kian ditinggalkan nan ditanggalkan. Terlihat tampak jelas di mana semakin hari perjalanan bangsa ini mulai terasa jauh dari spirit pancasila. Namun tidak hanya itu saja, juga terlihat mulai munculnya kelompok-kelompok kecil orang yang tabu untuk menyebutkan salah satu pilar bangsa tersebut. Jangankan dipraktikkan dalam kehidupan nyata, dipidatokan saja sebagai rujukan berbangsapun sudah mulai jarang. Parahnya, pancasila kini diperlakukan bak ornamen usang yang nampaknya lebih pantas dimusiumkan, padahal sejarah telah membuktikan bahwa dengan atau melalui pancasila itu sendiri bangsa yang majemuk dan multikultural hingga kini masih bisa direkatkan.
Banyak bangsa lain diberbagai belahan dunia, kagum bahkan mungkin iri dengan dalamnya falsafah pancasila yang memuat tentang Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial itu. Berterus terang menyebut dan mengagumi akan pancasila sebagai kekayaan Indonesia yang begitu berharga (dalam pidato Presiden Amerika Serikat di UIN Syarif Hidayatullah beberapa waktu yang lalu). Akan tetapi, di negeri kita sendiri yang melahirkan pancasila itu sendiri, masih ada saja anak bangsa yang hendak menguburkan dalam-dalam falsafah bangsa itu (pancasila). Pancasila yang telah dikerumuni oportunisme yang dengan menggunakan kebangsaan hanya untuk alat memajukan diri sendiri, makmur sendiri dan menggemukkan pundi-pundi sendiri yang mana hal itu terlihat nyata dalam praktik korupsi yang tidak akan pernah ada akhirnya di negeri ini, mengangkangi keadilan bahkan mentransaksikan kekayaan alam demi kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu saja. Selain adanya oportunis, juga masih adanya berbagai kepicikan yang mengepung pancasila melalui sikap memaksakan kehendak kelompok, hal itu berwujud dalam tindakan intoleran bahkan sampai melakukan kekerasan atas nama keyakinan, etnik juga kelompok dan lain sebagainya.
Berbagai macam penyakit akut itu muncul dikarenakan bangsa ini begitu dalam mengalami krisis keteladanan dari pemimpin. Bangsa ini kehilangan pemimpin otentik yang selaras, menyatu antara perkataan dan perbuatan, namun bagaimana di bangsa ini yang muncul adalah pemimpin yang dipenuhi dengan kepura-puraan demi menjaga citra atau mempertahankan kepentingan tertentu. Oleh karena itu, benar jika yang dikatakan oleh para pemikir kenegaraan kita bahwa bangsa ini sangat membutuhkan sebuah perubahan, begitu memerlukan revolusi mental, kebudayaan dan terbebaskan dari kepicikan. Bukan hanya sekedar perubahan, revolusi di tingkat prosedur dan perundang-undangan saja. Dasar Negara tersebut harus mampu hadir secara nyata di tengah-tengah masyarakat, yang tentunya semua itu jelas memerlukan sosok pemimpin yang inspiratif yang memiliki grand desain “mau ke manakah bangsa ini akan dibawa serta memiliki keberanian dan kebersihan untuk mewujudkannya” dan pada akhirnya, sudah jelaslah langkah besar itu harus dimulai dengan memperkuat pilar kebangsaan yakni PANCASILA.
Tulungagung, 01 Juni 2013 ; 01:42 WIB
Ketua 1 PMII Komisariat STAIN Tulungagung 2013
Ketua 1 PMII Komisariat STAIN Tulungagung 2013
Setiap diri kita adalah penulis untuk diri dan kehidupan kita
karena hanya kita yang benar-benar mengerti siapa diri kita